apa yang anda pikirkan?

Kamis, 09 Januari 2014

cerpen asal jadi ^_^



Merah Delima
Pagi ini  angin semilir menusuk tulang, tiba tiba ku dengar derap langkah kaki para lelaki kian jelas padahal awan masih gelap gulita itu pertanda masih pagi buta, ku mencoba membuka kedua  jendela dunia, oh.. ternyata barisan anak-anak muda sedang berjalan menuju langgar, aku baru tersadar ternyata aku sedang berada di tanah yang tak biasa ku tempati. Badanku terjatuh lagi, kepalaku pun tak elak menggeluyur di tumpukan bantal-bantal, walau dingin namun nyaman, kedua kelopak mataku pun terkatup lagi.
Akgh, mengapa begitu cepat mentari menyapaku. Sinar jingga yang begitu indah masuk diantara celah jendela rumah menyapa seluruh makhlukNya. Suara derap langkah itu terdengar lagi dan tiba-tiba seseorang meraih tanganku, aku merasakan sakit dan tanganku tertarik oleh seseorang. Hei, ada apa ini? siapa dia? dan mengapa?, seolah dia tak mengerti dengan rasa kebingunganku, dia terus mengenggam tanganku dan terus menarik membawaku lari terus berlari melewati lorong-lorong, rumah-rumah, pepohonan, rerumputan aliran air yang gemercik, bahkan duri duri kecil yang tak ia hiraukan. Genggamannya sangat erat hingga tak kuasa aku melepaskannya, kakipun terlunta-lunta mengikuti langkah kakinya, wajahnya tanpa bersalah terus menatap ke depan tanpa menoleh sedetikpun padaku.
Terdiam dan berhenti lalu menatap wajahku tepat di depan rumah mewah yang berpagar tinggi, lalu dia membuka pagar dan memasuki rumah yang mirip istana, tanganku masih tetap dalam gengamannya “Ayo, masuk ikut saja tak usah banyak tanya, nanti kau akan melihat”. Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya, suaranya begitu merdu dan ramah berbanding terbalik dengan tingkah anehnya yang menyeretku ke rumah ini.
Terus menelusuri ruang demi ruang, menapaki anak tangga yang memutar dan entah kapan akhirnya, pintu demi pintu, hiasan dan pernak-pernik rumah, lukisan, guci-guci antik yang tertata di setiap ruangan, vas vas bunga yang begitu indah. Tiba-tiba tepat di depan pintu yang terbalut tirai mawar merah, begitu eklusif dan indah, semerbak harum menyeruap dari dalam ruangan itu.
Dia terus membawaku memasuki ruangan yang begitu indah, seram, dan sangat antik, sangat berbeda dari ruangan yang sebelumnya ku lewati. Memasuki lorong yang panjang, sunyi dan sangat menakutkan, ya tiba-tiba hatiku berdegup kencang dan entah apa yang kurasa, dimana aku dan siapa sosok yang ada di depan ku?, hatiku terus bertanya dan apa yang sedang terjadi?. Tiba-tiba pandanganku silau seberkas cahaya menyapa ku, aku tak sadarkan diri.
“Rie, Qorrie  bangun cantik, sudah pukul berapa ini?” aku mencoba tuk menatap Nairi, ah  aku  hanya bermimpi, tidak mungkin.
“Hei, kok diam, mandi dulu ya biar wangi” vero mengerlingkan matanya.
“Eh, oh, iya makasih ver, kamu baik dech” dengan nada menggoda.
“Oia tadi Fahed nelpon katanya dia mau jemput kamu jam sepuluh nanti ”
“Oh, iya thanks ya say” balasku sambil menarik handuk dan memasuki kamar mandi.
Wajahku masih sembab bingung dan bercampur rasa kutatap diriku dalam cermin, ah qorrie please itu hanya mimpi namun masih sangat terasa aku merasa itu bukan mimpi tiba-tiba Drrrr drrrr drrrr handphone ku bergetar.
Cantik, udah siap ya aku jemput, kamu gag lupa kan say?, oia pake baju yang aku kirim kemarin ya, bye bye sampe ketemu ya
Jari jemari ku baru saja akan membalas pesan singkat itu, tapi belum sempat ku mengetik tiba-tiba panggilan masuk dari nomor yang tersembunyi.
“Rie, aku udah di depan nich, turun ya” suara Fahed terdengar ramah
“Iya bawel” hanya itu dan ku tutup telepon dari Fahed.
Sekali lagi ku tatap diriku di depan cermin, dan ku tutup pintu kamar berjalan terus ke depan, aneh sekali hari ini dimana orang-orang?, kenapa sepi ah mungkin sudah pergi dengan masing-masing keperluannya. Hanya ada sari yang sedang sibuk merapikan rumah, dina yang sedang menyiram bunga di taman, dan pak Tono yang menyapu halaman rumah.
Fahed melambaikan tanganya, dan berlari menghampiriku.
“Ayo udah siang nih, kesiangan lagi ya?” membukakan pintu mobil
“Hmmmm, ya maklum akhir tahun jadi banyak discount, termasuk kewajiban juga, jadi nyante.”
“owh, ya paham, udah biasa, oia mau makan apa?” tanya Fahed sambil terus  konsentrasai mengendarai mobil kesayangannya, sesekali berhenti di lampu merah, dan menatap ku.
“terserah aja dech, makmum aja” fokusku masih pada sosok misterius dalam mimpiku yang mengenggamku, masih terus berputar di pikiranku.
“kita sudah sampai, yuk” Fahed menyadarkan aku dari lamunan
Dia melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobilnya, memutar dan membukkan pintu untukku. Aku mencoba menatap sekeliling tempat ini, ah ini bukan mimpi, gedung di hadapanku benar nyata adanya. Lama aku terpaku menatap dan mencoba mengingat kembali rentetan kejadian yang kurasa bukan mimpi, tetapi apa yang sebenarnya terjadi, aku bingung, dan linglung, aku mencoba diam untuk menutupi segala rasa yang ada.
Fahed tersenyum padaku, dan tangannya meraih tanganku, jari jemari pun tergenggam, aku tetap masih terdiam, diraihnya tanganku dan terus berjalan, diselendangkannya tanganku di atas lengannya.
 “Ayo sayang, ada kejutan untuk kamu tuan putri” bisikannya lembut di telinga ku membuat ku sedikit tenang.
Tiba-tiba aku teringat, suara ini sama persis dengan yang ada dalam mimpiku, ah tidak mungkin, apa mungkin sosok itu adalah Fahed. Kami terus berjalan memauki halaman yang sangat luas, jalan yang dihiasi taman kanan kiri, anak-anak kecil yang bermain di pinggir kolam ikan yang dikelilingi bebatuan putih yang indah, saling berlemparan pakan ikan ke dalam kolam, ikan-ikan berwarna emas yang indah berebut makanan yang dilempar. Riang gembira suara mereka sangat menggembirakan.
Memory dalam otakku terus berputar bernostalgia mengingat masa lalu. Sementara aku terus mengikuti langkah kaki Fahed yang terus membawaku melewati jalan taman yang panjang dan tak kunjung usai dan akhirnya ku lihat pintu putih yang lebar kali panjang dan sangat mewah hampir sama dengan gedung putih.
Terus memasuki ruangan demi ruangan, sama persis dengan yang ada dalam ingatanku, tak ada beda. Ini bukan mimpi, tiba-tiba Fahed mempercepat langkahnya, membuatku sedikit kaget dan tergesa, langkah kaki ku pun terlunta mulai tak dapat mengimbangi langkah kakinya yang terus melangkah melangkah berjalan membuatku setengah berlari.
Konsentrasi ku buyar, aku memejamkan mata, kini Fahed hanya mengenggam erat tanganku, aku tak peduli itu yang kurasa, aku tetap memejamkan mataku dan berjalan merasakan apa yang berputar di memory ingatanku yang kurasa sama persis waktu semalam , lagi dan lagi hatiku berkata ini bukan mimpi.
Semakin bertambah kecepatan langkah kakiku, tangan Fahed kini semakin erat menggenggam jemariku, aku mencoba membuka ke dua mata ku menatap Fahed, oh tidak, pandangannya kini beku dan dingin, sosok Fahed kini berbeda dengan yang sebelumnya, kini dia tak seperti Fahed, dingin, beku dan seakan aku tak mengenalinya, dia terus membawaku melewati ruangan demi ruangan, naik menapaki anak tangga yang berputar, terus naik dan berputar sampai di lantai tertinggi, terus melangkah tanpa memeperdulikan aku yang setengah kebingungan, dan tak terasa buliran air keluar dari mataku mengalir membasahi pipiku, ku biarkan buliran demi buliran mengalir, namun Fahed tak peduli terus berjalan dan menatap ke depan.
Sadar tanpa sadar aku terus saja bertanya dalam hati tak berani mengeluarkan suara, bibirku pun terkatup seakan terkunci, aku terus mengikuti langkah kaki Fahed, genggaman tangan Fahed tak sehalus yang kurasa sebelumnya, semakin erat dan erat.
Mencoba tenang dan terus berjalan setengah berlari, ku pandangi sekeliling ruangan yang ku lewati smaa persis dengan yang ada, guci guci, bunga-bunga didalam vas, dan yang tergantung di dinding, lukisan lukisan, dan sederetan perhiasan yang menghiasi ruangan demi ruangan yang ku lewati. Hingga lorong yang panjang dan ruangaan aneh yang mencengkeram hatiku.
Secercah cahaya kini ku lihat lagi, dan aku terus mencoba menatap melawan cahaya itu tiba-tiba gelap dan kreeeeeeekk suara pintu terbuka , aku terhempas di atas ranjang besar yang empuk, namun tak aku merasakan sakit. Selendang tirai tirai putih yang membalut ranjang dan ruangan yang bertaburan kelopak mawar merah bercampur putihnya melati menusuk ke dalam hidungku, aku mual dengan wangi yang sangat tajam tiba-tiba Fahed  mendekat dan menatapku, tatapnnya aneh, dingin dan aku merasa bukan sosok Fahed yang ku kenal.
Aku masih terdiam di pinggir ranjang menatap Fahed yang mulai melangkah mendekat, aku memejamkan kedua mataku bibirku terkatup tak dapat berkata apapun, hatiku berlonjak bergejolak, tiba tiba aku takut, dan aku ingin berlari tapi aku tak bisa, Fahed meraih tanganku duduk disebelah tanganku, lalu berbisik.
“Rie aku sayang sama kamu, tapi kenapa kamu terus mengelak aku tak mengerti” sambil membelai rambutku dan mengalungkan kalung berliontin merah delima sangat indah.
Suara yang ku dengar lembut sangat lembut dan sorot matanya kini melemah, di kecupnya keningku dan  mataku terpejam lagi. Hatiku tak dapat mengendalikan diriku, aku terus diam dan diam, hingga tangan Fahed terus mengenggamku erat namun hangat dan lembut, gelap dan aku tak sadarkan diri.
Jderrr prang , aku kaget dan mataku terbuka. Aku berdiri dan aku tak percaya dengan apa yang ku lihat, tanganku gemetar, badanku kaku dan keringat panas dingin keluar bercucuran.
“Apa yang sedang kalian lakukan, Qorrie!” wajah Nairi sangat merah padam
“Na, dengerin penjelasanku, aku nggak bermaksud untuk…..” Fahed gugup
Plak telapak tangan Nairi tepat menampar wajah Fahed, Nairi juga  melemparkan vas bunga padaku tepat mengenai pelipis ku, ahhh… buliran hangat mengalir dan tetesan merah itu kini terjatuh mengenai telapak tanganku. Aku lemas dan tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Fahed berlonjak dan menghampiri Nairi meraih tangannya menghempaskan, Nairi terhempas ke dinding putih, terjatuh, aku bisa merasakan sakit itu, dan tangisan Nairi terisak terdengar jelas.
Nairi bangkit dan menyaut apa saja yang ada didekatnya, melemparkan kepada Fahed, mereka bertengkar dan lontaran kata-kata dan kalimat yang membuatku terdiam, terpojok, terpaku dan aku mencoba menguatkan untuk berdiri, mencoba melangkah mendekati Fahed dan Nairi.
Namun belum sempat aku melangkah, Fahed dan Nairi tertawa, Fahed mendorongku ke ranjang hingga aku tersungkur , aku melihat Nairi mengambil guci  yang berada di belakang Fahed. Oh tidak aku tak dapat membayangkan apa yang ada di dlaam pikiran Nairi.
Nairi mengangkat Guci, otakku berputar dengan cepat dan meraih tangan Fahed kulempar gelas kaca yang ada di meja dekat ranjang tepat mengenai tangan Nairi, warna merah itu lagi dan lagi ku lihat mengalir di tangan Nairi, oh tidak, maafkan aku Na batinku berbisik.
Fahed terlihat kaget dan plakk tangannya menampar pipiku, aku menangis dan entah apa yang sebenarnya terjadi. Nairi tiba-tiba mendekati kami dan melamparkan guci tepat mengenai kepalaku.
“Qorrie, maafkan aku sayang, sebenarnya aku dan Nairi telah bertunangan, dan aku hanya iningin mematikan kesombongan yang ada pada dirimu, perempuan angkuh, dasar bodoh”
“hahahah.. iya Rie, sorry ya, aku teman yang mengkhianati kamu, kita Cuma mau ngambil harta kamu aja, thanks ya Rie, kamu itu pintar, cantik, tapi angkuh, dasar bodoh”
“kalian?????,, aku gag nyangka” tak ada kata yang dapat terucap lagi.
Ahhh aku merasakan sakit di kepalaku, telapak tanganku meraba ah ternyata butiran cair merah telah membasahi rambutku, aku terkulai lemas di ranjang, tak dapat berbuat apa-apa, lagi lagi Fahed menampar pipiku bergantian dengan Nairi, Fahed meraih tanganku dan menyeret, aku terjerambab ke bawah ranjang tersungkur, lemas sakit dan perih. Nairi mengulurkan tangannya aku menyambut dan nairi mendorongku ke ranjang, ah cukup aku tak kuat menahan ini semua.
Fahed mendekati aku dan Nairi, aku mencoba mundur dan menyandar di pojok ranjang, mereka mendekat dan terus mendekati aku, tangan Nairi begitu keras mengikat tanganku pada tiang ranjang, kini Fahed mendekati aku dan menuangkan segelas air diatas kepalaku perih sangat perih mengenai luka yang ada dipelipis ku, aku menangis terisak namun mereka tertawa, dan Nairi menampar nampar pipiku.
Tak puas dengan apa yang telah mereka lakukan, Nairi mengambil silet dan merobek robek pakaian yang kukenakan, merah delima yang diberikan Fahed untukku, namun Fahed semakin lebih kejam, Fahed menjamah tubuhku dengan tajamnya pisau antik yang ia pegan.
Pemandangan yang membuatku semakin lebih sakit dan perih, usai mereka menyiksaku secara lahir kini mereka menyiksa batinku yang semakin tersungkur mereka bercumbu di hadapnku.  Mereka tertawa dan aku semakin lemas dan terus menangis, sungguh aku tak tahan dengan apa yang aku rasakan. Mereka mendekatiku kembali mencoba melepaskan ikatanku dan menutupi badanku.
“Maaf sayang, sakit ya..hahahha” Fahed tertawa dan menggenggam erat tangan Nairi
“Rie, sorry ya aku emang temen yang jahat, ayo sayang kita pergi” ucap Nairi manja pada Fahed.
“Tunggu Na, kita gag mungkin biarin dia disini ini bahaya” balas Fahed melepaskan tangan Nairi
Kini tangan Fahed meraih tanganku,dan menyeret ku , aku tak kuasa berjalan, mereka menyeretku keluar dari ruangan, menuruni anak tangga, dan keluar ke halaman belakang, tiba di rumah kecil yang lama tak di huni.
Aku tesungkur, Fahed dan Nairi mendorongku ke dalam kamar dan aku tersungkur di atas ranjang. Tiba-tiba mereka menumpahkan cairan dari gallon dan ahhh aku mencium aroma bensin,
“Jangan, Na,, jangan fahed, please, kalian boleh ambil semua hartaku dan menyiksaku, tapi please jangan lakukan ini” namun mereka tak menghiraukan kata-kata yang keluar dari mulutku.
“Hei apa yang  kalian lakukan!” terdengar suara lelaki paruh baya mendobrak pintu kamar.
Nairi menarik kalung merah delima yang ada di leherku, aku masih sangat jelas melihat raut wajah Fahed dan Nairi yang  terlihat sangat cemas meraka sangat ketakutan dan berlari meninggalkan aku yang terbujur tak berdaya lemas  mataku terpejam dan tiba-tiba gelap.

(Echi cuechic Ceylon)
saat mengikuti LSDp#11 di bantul by matapena

Tidak ada komentar:

Posting Komentar