Merah Delima
Pagi
ini angin semilir menusuk tulang, tiba
tiba ku dengar derap langkah kaki para lelaki kian jelas padahal awan masih
gelap gulita itu pertanda masih pagi buta, ku mencoba membuka kedua jendela dunia, oh.. ternyata barisan
anak-anak muda sedang berjalan menuju langgar, aku baru tersadar ternyata aku
sedang berada di tanah yang tak biasa ku tempati. Badanku terjatuh lagi,
kepalaku pun tak elak menggeluyur di tumpukan bantal-bantal, walau dingin namun
nyaman, kedua kelopak mataku pun terkatup lagi.
Akgh,
mengapa begitu cepat mentari menyapaku. Sinar jingga yang begitu indah masuk
diantara celah jendela rumah menyapa seluruh makhlukNya. Suara derap langkah
itu terdengar lagi dan tiba-tiba seseorang meraih tanganku, aku merasakan sakit
dan tanganku tertarik oleh seseorang. Hei, ada apa ini? siapa dia? dan
mengapa?, seolah dia tak mengerti dengan rasa kebingunganku, dia terus
mengenggam tanganku dan terus menarik membawaku lari terus berlari melewati
lorong-lorong, rumah-rumah, pepohonan, rerumputan aliran air yang gemercik,
bahkan duri duri kecil yang tak ia hiraukan. Genggamannya sangat erat hingga
tak kuasa aku melepaskannya, kakipun terlunta-lunta mengikuti langkah kakinya,
wajahnya tanpa bersalah terus menatap ke depan tanpa menoleh sedetikpun padaku.
Terdiam
dan berhenti lalu menatap wajahku tepat di depan rumah mewah yang berpagar
tinggi, lalu dia membuka pagar dan memasuki rumah yang mirip istana, tanganku
masih tetap dalam gengamannya “Ayo, masuk ikut saja tak usah banyak tanya,
nanti kau akan melihat”. Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya,
suaranya begitu merdu dan ramah berbanding terbalik dengan tingkah anehnya yang
menyeretku ke rumah ini.
Terus
menelusuri ruang demi ruang, menapaki anak tangga yang memutar dan entah kapan
akhirnya, pintu demi pintu, hiasan dan pernak-pernik rumah, lukisan, guci-guci
antik yang tertata di setiap ruangan, vas vas bunga yang begitu indah.
Tiba-tiba tepat di depan pintu yang terbalut tirai mawar merah, begitu eklusif
dan indah, semerbak harum menyeruap dari dalam ruangan itu.
Dia
terus membawaku memasuki ruangan yang begitu indah, seram, dan sangat antik,
sangat berbeda dari ruangan yang sebelumnya ku lewati. Memasuki lorong yang
panjang, sunyi dan sangat menakutkan, ya tiba-tiba hatiku berdegup kencang dan
entah apa yang kurasa, dimana aku dan siapa sosok yang ada di depan ku?, hatiku
terus bertanya dan apa yang sedang terjadi?. Tiba-tiba pandanganku silau
seberkas cahaya menyapa ku, aku tak sadarkan diri.
“Rie,
Qorrie bangun cantik, sudah pukul berapa
ini?” aku mencoba tuk menatap Nairi, ah
aku hanya bermimpi, tidak
mungkin.
“Hei,
kok diam, mandi dulu ya biar wangi” vero mengerlingkan matanya.
“Eh,
oh, iya makasih ver, kamu baik dech” dengan nada menggoda.
“Oia
tadi Fahed nelpon katanya dia mau jemput kamu jam sepuluh nanti ”
“Oh,
iya thanks ya say” balasku sambil menarik handuk dan memasuki kamar mandi.
Wajahku
masih sembab bingung dan bercampur rasa kutatap diriku dalam cermin, ah qorrie
please itu hanya mimpi namun masih sangat terasa aku merasa itu bukan mimpi
tiba-tiba Drrrr drrrr drrrr handphone ku bergetar.
Cantik, udah siap ya aku jemput, kamu gag lupa kan say?, oia pake
baju yang aku kirim kemarin ya, bye bye sampe ketemu ya
Jari
jemari ku baru saja akan membalas pesan singkat itu, tapi belum sempat ku
mengetik tiba-tiba panggilan masuk dari nomor yang tersembunyi.
“Rie,
aku udah di depan nich, turun ya” suara Fahed terdengar ramah
“Iya
bawel” hanya itu dan ku tutup telepon dari Fahed.
Sekali
lagi ku tatap diriku di depan cermin, dan ku tutup pintu kamar berjalan terus
ke depan, aneh sekali hari ini dimana orang-orang?, kenapa sepi ah mungkin
sudah pergi dengan masing-masing keperluannya. Hanya ada sari yang sedang sibuk
merapikan rumah, dina yang sedang menyiram bunga di taman, dan pak Tono yang
menyapu halaman rumah.
Fahed
melambaikan tanganya, dan berlari menghampiriku.
“Ayo
udah siang nih, kesiangan lagi ya?” membukakan pintu mobil
“Hmmmm,
ya maklum akhir tahun jadi banyak discount, termasuk kewajiban juga, jadi
nyante.”
“owh,
ya paham, udah biasa, oia mau makan apa?” tanya Fahed sambil terus konsentrasai mengendarai mobil kesayangannya,
sesekali berhenti di lampu merah, dan menatap ku.
“terserah
aja dech, makmum aja” fokusku masih pada sosok misterius dalam mimpiku yang
mengenggamku, masih terus berputar di pikiranku.
“kita
sudah sampai, yuk” Fahed menyadarkan aku dari lamunan
Dia
melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobilnya, memutar dan membukkan pintu
untukku. Aku mencoba menatap sekeliling tempat ini, ah ini bukan mimpi, gedung
di hadapanku benar nyata adanya. Lama aku terpaku menatap dan mencoba mengingat
kembali rentetan kejadian yang kurasa bukan mimpi, tetapi apa yang sebenarnya
terjadi, aku bingung, dan linglung, aku mencoba diam untuk menutupi segala rasa
yang ada.
Fahed
tersenyum padaku, dan tangannya meraih tanganku, jari jemari pun tergenggam,
aku tetap masih terdiam, diraihnya tanganku dan terus berjalan, diselendangkannya
tanganku di atas lengannya.
“Ayo sayang, ada kejutan untuk kamu tuan putri”
bisikannya lembut di telinga ku membuat ku sedikit tenang.
Tiba-tiba
aku teringat, suara ini sama persis dengan yang ada dalam mimpiku, ah tidak
mungkin, apa mungkin sosok itu adalah Fahed. Kami terus berjalan memauki
halaman yang sangat luas, jalan yang dihiasi taman kanan kiri, anak-anak kecil
yang bermain di pinggir kolam ikan yang dikelilingi bebatuan putih yang indah,
saling berlemparan pakan ikan ke dalam kolam, ikan-ikan berwarna emas yang
indah berebut makanan yang dilempar. Riang gembira suara mereka sangat
menggembirakan.
Memory
dalam otakku terus berputar bernostalgia mengingat masa lalu. Sementara aku terus
mengikuti langkah kaki Fahed yang terus membawaku melewati jalan taman yang
panjang dan tak kunjung usai dan akhirnya ku lihat pintu putih yang lebar kali
panjang dan sangat mewah hampir sama dengan gedung putih.
Terus
memasuki ruangan demi ruangan, sama persis dengan yang ada dalam ingatanku, tak
ada beda. Ini bukan mimpi, tiba-tiba Fahed mempercepat langkahnya, membuatku
sedikit kaget dan tergesa, langkah kaki ku pun terlunta mulai tak dapat
mengimbangi langkah kakinya yang terus melangkah melangkah berjalan membuatku
setengah berlari.
Konsentrasi
ku buyar, aku memejamkan mata, kini Fahed hanya mengenggam erat tanganku, aku
tak peduli itu yang kurasa, aku tetap memejamkan mataku dan berjalan merasakan
apa yang berputar di memory ingatanku yang kurasa sama persis waktu semalam ,
lagi dan lagi hatiku berkata ini bukan mimpi.
Semakin
bertambah kecepatan langkah kakiku, tangan Fahed kini semakin erat menggenggam
jemariku, aku mencoba membuka ke dua mata ku menatap Fahed, oh tidak,
pandangannya kini beku dan dingin, sosok Fahed kini berbeda dengan yang sebelumnya,
kini dia tak seperti Fahed, dingin, beku dan seakan aku tak mengenalinya, dia
terus membawaku melewati ruangan demi ruangan, naik menapaki anak tangga yang
berputar, terus naik dan berputar sampai di lantai tertinggi, terus melangkah
tanpa memeperdulikan aku yang setengah kebingungan, dan tak terasa buliran air
keluar dari mataku mengalir membasahi pipiku, ku biarkan buliran demi buliran
mengalir, namun Fahed tak peduli terus berjalan dan menatap ke depan.
Sadar
tanpa sadar aku terus saja bertanya dalam hati tak berani mengeluarkan suara,
bibirku pun terkatup seakan terkunci, aku terus mengikuti langkah kaki Fahed,
genggaman tangan Fahed tak sehalus yang kurasa sebelumnya, semakin erat dan
erat.
Mencoba
tenang dan terus berjalan setengah berlari, ku pandangi sekeliling ruangan yang
ku lewati smaa persis dengan yang ada, guci guci, bunga-bunga didalam vas, dan
yang tergantung di dinding, lukisan lukisan, dan sederetan perhiasan yang
menghiasi ruangan demi ruangan yang ku lewati. Hingga lorong yang panjang dan
ruangaan aneh yang mencengkeram hatiku.
Secercah
cahaya kini ku lihat lagi, dan aku terus mencoba menatap melawan cahaya itu
tiba-tiba gelap dan kreeeeeeekk suara pintu terbuka , aku terhempas di atas
ranjang besar yang empuk, namun tak aku merasakan sakit. Selendang tirai tirai
putih yang membalut ranjang dan ruangan yang bertaburan kelopak mawar merah
bercampur putihnya melati menusuk ke dalam hidungku, aku mual dengan wangi yang
sangat tajam tiba-tiba Fahed mendekat
dan menatapku, tatapnnya aneh, dingin dan aku merasa bukan sosok Fahed yang ku
kenal.
Aku
masih terdiam di pinggir ranjang menatap Fahed yang mulai melangkah mendekat, aku
memejamkan kedua mataku bibirku terkatup tak dapat berkata apapun, hatiku
berlonjak bergejolak, tiba tiba aku takut, dan aku ingin berlari tapi aku tak
bisa, Fahed meraih tanganku duduk disebelah tanganku, lalu berbisik.
“Rie
aku sayang sama kamu, tapi kenapa kamu terus mengelak aku tak mengerti” sambil
membelai rambutku dan mengalungkan kalung berliontin merah delima sangat indah.
Suara
yang ku dengar lembut sangat lembut dan sorot matanya kini melemah, di kecupnya
keningku dan mataku terpejam lagi.
Hatiku tak dapat mengendalikan diriku, aku terus diam dan diam, hingga tangan
Fahed terus mengenggamku erat namun hangat dan lembut, gelap dan aku tak
sadarkan diri.
Jderrr
prang , aku kaget dan mataku terbuka. Aku berdiri dan aku tak percaya dengan
apa yang ku lihat, tanganku gemetar, badanku kaku dan keringat panas dingin
keluar bercucuran.
“Apa
yang sedang kalian lakukan, Qorrie!” wajah Nairi sangat merah padam
“Na,
dengerin penjelasanku, aku nggak bermaksud untuk…..” Fahed gugup
Plak telapak tangan Nairi tepat menampar wajah Fahed, Nairi juga melemparkan vas bunga padaku tepat mengenai
pelipis ku, ahhh… buliran hangat mengalir dan tetesan merah itu kini terjatuh
mengenai telapak tanganku. Aku lemas dan tak mengerti apa yang sedang terjadi.
Fahed
berlonjak dan menghampiri Nairi meraih tangannya menghempaskan, Nairi terhempas
ke dinding putih, terjatuh, aku bisa merasakan sakit itu, dan tangisan Nairi
terisak terdengar jelas.
Nairi
bangkit dan menyaut apa saja yang ada didekatnya, melemparkan kepada Fahed,
mereka bertengkar dan lontaran kata-kata dan kalimat yang membuatku terdiam,
terpojok, terpaku dan aku mencoba menguatkan untuk berdiri, mencoba melangkah
mendekati Fahed dan Nairi.
Namun
belum sempat aku melangkah, Fahed dan Nairi tertawa, Fahed mendorongku ke
ranjang hingga aku tersungkur , aku melihat Nairi mengambil guci yang berada di belakang Fahed. Oh tidak aku
tak dapat membayangkan apa yang ada di dlaam pikiran Nairi.
Nairi
mengangkat Guci, otakku berputar dengan cepat dan meraih tangan Fahed kulempar
gelas kaca yang ada di meja dekat ranjang tepat mengenai tangan Nairi, warna
merah itu lagi dan lagi ku lihat mengalir di tangan Nairi, oh tidak, maafkan
aku Na batinku berbisik.
Fahed
terlihat kaget dan plakk tangannya menampar pipiku, aku menangis dan
entah apa yang sebenarnya terjadi. Nairi tiba-tiba mendekati kami dan
melamparkan guci tepat mengenai kepalaku.
“Qorrie,
maafkan aku sayang, sebenarnya aku dan Nairi telah bertunangan, dan aku hanya
iningin mematikan kesombongan yang ada pada dirimu, perempuan angkuh, dasar
bodoh”
“hahahah..
iya Rie, sorry ya, aku teman yang mengkhianati kamu, kita Cuma mau ngambil
harta kamu aja, thanks ya Rie, kamu itu pintar, cantik, tapi angkuh, dasar
bodoh”
“kalian?????,,
aku gag nyangka” tak ada kata yang dapat terucap lagi.
Ahhh
aku merasakan sakit di kepalaku, telapak tanganku meraba ah ternyata butiran
cair merah telah membasahi rambutku, aku terkulai lemas di ranjang, tak dapat
berbuat apa-apa, lagi lagi Fahed menampar pipiku bergantian dengan Nairi, Fahed
meraih tanganku dan menyeret, aku terjerambab ke bawah ranjang tersungkur,
lemas sakit dan perih. Nairi mengulurkan tangannya aku menyambut dan nairi
mendorongku ke ranjang, ah cukup aku tak kuat menahan ini semua.
Fahed
mendekati aku dan Nairi, aku mencoba mundur dan menyandar di pojok ranjang,
mereka mendekat dan terus mendekati aku, tangan Nairi begitu keras mengikat
tanganku pada tiang ranjang, kini Fahed mendekati aku dan menuangkan segelas
air diatas kepalaku perih sangat perih mengenai luka yang ada dipelipis ku, aku
menangis terisak namun mereka tertawa, dan Nairi menampar nampar pipiku.
Tak
puas dengan apa yang telah mereka lakukan, Nairi mengambil silet dan merobek
robek pakaian yang kukenakan, merah delima yang diberikan Fahed untukku, namun
Fahed semakin lebih kejam, Fahed menjamah tubuhku dengan tajamnya pisau antik
yang ia pegan.
Pemandangan
yang membuatku semakin lebih sakit dan perih, usai mereka menyiksaku secara
lahir kini mereka menyiksa batinku yang semakin tersungkur mereka bercumbu di
hadapnku. Mereka tertawa dan aku semakin
lemas dan terus menangis, sungguh aku tak tahan dengan apa yang aku rasakan.
Mereka mendekatiku kembali mencoba melepaskan ikatanku dan menutupi badanku.
“Maaf
sayang, sakit ya..hahahha” Fahed tertawa dan menggenggam erat tangan Nairi
“Rie,
sorry ya aku emang temen yang jahat, ayo sayang kita pergi” ucap Nairi manja
pada Fahed.
“Tunggu
Na, kita gag mungkin biarin dia disini ini bahaya” balas Fahed melepaskan
tangan Nairi
Kini
tangan Fahed meraih tanganku,dan menyeret ku , aku tak kuasa berjalan, mereka
menyeretku keluar dari ruangan, menuruni anak tangga, dan keluar ke halaman
belakang, tiba di rumah kecil yang lama tak di huni.
Aku
tesungkur, Fahed dan Nairi mendorongku ke dalam kamar dan aku tersungkur di
atas ranjang. Tiba-tiba mereka menumpahkan cairan dari gallon dan ahhh aku
mencium aroma bensin,
“Jangan,
Na,, jangan fahed, please, kalian boleh ambil semua hartaku dan menyiksaku,
tapi please jangan lakukan ini” namun mereka tak menghiraukan kata-kata yang
keluar dari mulutku.
“Hei
apa yang kalian lakukan!” terdengar
suara lelaki paruh baya mendobrak pintu kamar.
Nairi menarik kalung merah delima yang ada di leherku, aku masih
sangat jelas melihat raut wajah Fahed dan Nairi yang terlihat sangat cemas meraka sangat ketakutan
dan berlari meninggalkan aku yang terbujur tak berdaya lemas mataku terpejam dan tiba-tiba gelap.
(Echi cuechic Ceylon)
saat mengikuti LSDp#11 di bantul by matapena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar